Selasa, 17 Maret 2015

Eksotisme Batik di Negeri Thailand :)

Membatik tidak hanya menjadi khazanah seni dan budaya bangsa Indonesia. Pengalaman penulis selama mengajar di Songkhla Thailand Selatan, memberi warna baru tentang seni dan budaya batik di negeri gajah putih tersebut.


Awalnya, saya sempat terkejut dengan adanya ekstra membatik di negara tetangga, karena kegiatan membatik merupakan salah satu khas Indonesia. Selain negeri Thailand, sebenarnya ada beberapa Negara maju yang juga telah mewajibkan adanya kegiatan ‘membatik’ di dalam ektrakurikuler sekolah, seperti Jerman, Inggris, dan lain sebagainya. Di lain sisi, saya juga merasa bangga, karena para budak (murid) disini sangat antusias sekali dalam mempelajari bagaimana teknik membatik, mengukir, mewarnai dengan menggunakan canting. Hal ini membuat saya sungguh merindukan Indonesia.

Saya berhipotesa mungkin karena letak kota Songkhla yang berada di kawasan Thailand selatan. Meskipun di selatan, Songkhla masih termasuk daerah yang sedikit penggunaan bahasa Malaya dalam kesehariannya. Di perbatasan sebelah barat Songkhla, ada kota Nathawi dan Pathalung, sebelah selatan ada Hat Yai, sebelah timur ada Patani, lalu lanjut sebelahnya yaitu Yala, Narathiwath, dan Malaysia. Hampir semua daerah perbatasan tersebut menggunakan bahasa Malaya sebagai salah satu bahasa sehari-hari mereka. Sangat dekat sekali bukan dengan negara tetangga (Malaysia)? Bahkan jika kita hendak berkunjung ke Malaysia, kita tak perlu naik pesawat atau kendaraan berat lain nya. Karena pihak negara telah menyediakan alat transportasi berupa minibus, vein, ataupun kereta api. Harga pun terjangkau, yaitu sekitar 500 Baht (200.000 Rupiah).

Maka, mayoritas para penduduk Songkhla menggunakan bahasa Siam (Thai) dan Malaya dalam kesehariannya. Meskipun bahasa Malaya tidak digunakan sebanyak bahasa Siam (Thailand), namun tak sulit juga mencari orang yang panak cakap bahasa Malaya.

Di Sasana Bamrung School, para budak (murid) belajar selama lima hari dalam seminggu, terhitung sejak hari Senin hingga hari Jum’at. Mulai pukul 07.00 pagi hingga setelah sholat Ashar berjama’ah, sekitar pukul 16.15 sore. Saya bersama teacher-teacher lainnya terkadang baru pulang sekolah sekitar pukul 16.30. Namun, cuaca sore di Songkhla sangat panas menyengat, tak ubahnya pada siang hari. Mungkin faktor letak sekolah dekat dengan pantai. Lagi-lagi.

Selama di sekolah, para budak mempelajari berbagai mata pelajaran umum dan agama layaknya sekolah-sekolah lainnya. Seperti Matematika, Sejarah, Tafsir, bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Thailand, bahasa Melayu, bahasa Indonesia, dan masih banyak lagi. Khusus mata pelajaran bahasa Thailand di tingkat Pra’thom Sueksaa (SD/MI), sekolah mendatangkan teacher perempuan dari kerajaan secara resmi. Beliau beragama Siam (Budha). Uniknya lagi, untuk para budak pada tingkat Mathayom (SMA/MA), terdapat mata pelajaran beberapa bahasa yang harus mereka pelajari. diantaranya Melayu dan Indonesia. Agak aneh, pikir saya.

Kembali ke mata pelajaran para budak di sekolah, ternyata mereka juga ada extrakurikuler nya. Diantaranya lingkungan sosial, ektra pramuka, bimbingan belajar, serta extra membatik. Nah.. untuk extra yang terakhir ini saya sangat menyukainya. 

Terkadang saya mengikuti kegiatan ektra membatik yang rutin dilaksanakan di hari libur yaitu hari Sabtu dan Ahad. Selain dua hari ‘istimewa’ tersebut, sebenarnya terkadang para budak mencuri waktu istirahat sekolah untuk menyelesaikan kegiatan memberi warna, atau sekadar menjemur hasil batik. Karena model pembelajaran extra ini adalah dengan membentuk kelompok-kelompok kecil dalam sebuah kelas. Satu kelompok biasanya terdiri dari 4 atau 5 budak. Dengan pemberian tugas yang sama, yaitu menghasilkan sebuah karya batik hasil kekreatifan tiap kelompok. 

Dengan menorehkan cat khusus batik di atas selembar kain khusus batik yang telah disediakan oleh teacher kesenian yang akrab dipanggil dengan Beding (Abah Ding). Selama keberadaan saya disana, beding memberikan tugas kepada para budak untuk membuat sarung bantal hasil karya kegiatan membatik mereka sendiri yang kreatif. 

Semoga Negara kita tetap mampu mempertahankan ke-khas-annya dalam hal membatik. Amin. :)


*Tulisan juga dimuat di Koran Pendidikan Kota Malang pada tanggal 16 Maret 2015 Hal. 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar